A.
LANDASAN IDEAL & KONSTITUSIONAL LUAR NEGERI
Landasan Ideal dalam pelaksanaan
politik luar negeri Indonesia adalah Pancasila yang merupakan dasar negara
Indonesia. Sedangkan landasan konstitusional dalam pelaksanaan
politik luar negeri Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 alinea pertama.
Tujuan politik luar negeri bebas
aktif adalah untuk mengabdi kepada tujuan nasional bangsa Indonesia yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
B.
POLITIK LUAR NEGERI BEBAS AKTIF & PELAKSANAANNYA
LAHIRNYA POLITIK LUAR NEGERI BEBAS AKTIF
Dalam perang dingin yang sedang
berkecamuk antara Blok Amerika (Barat) dengan Blok Uni Soviet (Timur),
Indonesia memilih sikap tidak memihak kepada salah satu blok yang ada. Hal ini
untuk pertama kali diuraikan Syahrir, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana
Menteri di dalam pidatonya pada Inter Asian Relations Conference di New Delhi pada tanggal 23 Maret–2
April 1947. Syahrir mengajak bangsa-bangsa Asia untuk bersatu atas dasar
kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian dunia, yang hanya bisa dicapai
dengan cara hidup berdampingan secara damai antar bangsa serta menguatkan
ikatan antara bangsa ataupun ras yang ada di dunia.
Tetapi walaupun Indonesia memilih
untuk tidak memihak kepada salah satu blok yang ada, hal itu
tidak berarti Indonesia
berniat untuk menciptakan blok baru. Indonesia juga tidak bersedia mengadakan
atau ikut campur dengan suatu blok ketiga yang dimaksud untuk mengimbangi kedua
blok raksasa itu.
Sikap yang demikian inilah yang
kemudian menjadi dasar politik luar negeri Indonesia yang biasa disebut dengan
istilah Bebas Aktif, yang artinya dalam menjalankan politik luar negerinya
Indonesia tidak hanya tidak memihak tetapi juga “aktif“ dalam usaha memelihara
perdamaian dan meredakan pertentangan yang ada di antara dua blok tersebut
dengan cara “bebas“ mengadakan persahabatan dengan semua negara atas dasar
saling menghargai.
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA MASA DEMOKRASI PARLEMENTER (1950 -1959)
Prioritas utama politik luar negeri
dan diplomasi Indonesia pasca kemerdekaan hingga tahun 1950an lebih ditujukan
untuk menentang segala macam bentuk penjajahan di atas dunia, termasuk juga
untuk memperoleh pengakuan internasional atas proses dekolonisasi yang belum selesai di Indonesia,
dan menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia melalui politik bebas aktifnya.
Sejak pertengahan tahun 1950 an,
Indonesia telah memprakarsai dan mengambil sejumlah kebijakan luar negeri yang
sangat penting dan monumental, seperti, Konferensi Asia Afrika di Bandung
pada tahun 1955. Konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif merupakan gambaran dan
usaha Indonesia untuk membantu terwujudnya perdamaian dunia. Salah satu
implementasinya adalah keikutsertaan Indonesia dalam membentuk solidaritas
bangsa-bangsa yang baru merdeka dalam forum Gerakan Non-Blok (GNB) atau (Non-Aligned
Movement/ NAM).
·
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA MASA
SOEKARNO (DEMOKRASI TERPIMPIN)
Politik luar
negeri Indonesia pada masa ini bersifat revolusioner. Presiden Soekarno dalam era ini berusaha
sekuat tenaga untuk mempromosikan Indonesia ke dunia internasional melalui
slogan revolusi nasionalnya yakni Nasakom (nasionalis, agama
dan komunis) dimana elemen-elemen ini diharapkan dapat beraliansi untuk mengalahkan Nekolim (Neo
Kolonialisme dan Imperialisme).
Presiden
Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan dengan sikap
konfrontasi penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi
dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old Established Forces) dan
“Nefos” (New Emerging Forces). Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada
dasarnya akibat dari pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos)
dan kekuatan-kekuatan yang baru bangkit atau negara-negara progresif (Nefos).
Politik luar negeri pada masa
Demokrasi Terpimpin juga ditandai dengan usaha keras Presiden Soekarno membuat
Indonesia semakin dikenal di dunia internasional melalui beragam konferensi
internasional yang diadakan maupun diikuti Indonesia. Tujuan awal dari
dikenalnya Indonesia adalah mencari dukungan atas usaha dan perjuangan
Indonesia merebut dan mempertahankan Irian Barat. Efek samping dari kerasnya usaha ke luar
Soekarno ini adalah ditinggalkannya masalah-masalah domestik seperti
masalah ekonomi.
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU
Pada masa pemerintahan Soeharto,
Indonesia lebih memfokuskan pada pembangunan sektor ekonomi. Beberapa sikap
Indonesia dalam melaksanakan politik luar negerinya antara lain; menghentikan
konfrontasi dengan Malaysia. Upaya mengakhiri konfrontasi terhadap Malaysia
dilakukan agar Indonesia mendapatkan kembali kepercayaan dari Barat dan
membangun kembali ekonomi Indonesia melalui investasi dan
bantuan dari pihak asing.
Selanjutnya Indonesia juga terlibat aktif membentuk organisasi ASEAN bersama
dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina.
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA ERA REFORMASI
Pada masa pemerintahan Habibie,
disibukkan dengan usaha memperbaiki citra Indonesia di kancah internasional
yang sempat terpuruk sebagai dampak krisis ekonomi di akhir era Orde Baru
dan kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor-Timur. Lewat usaha kerasnya, Presiden Habibie
berhasil menarik simpati dari Dana Moneter Internasional/International
Monetary Funds (IMF) dan Bank
Dunia untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi.
Pada masa pemerintahan Presiden
Abdurahman Wahid, hubungan RI dengan negara-negara Barat mengalami sedikit
masalah setelah lepasnya Timor- Timur dari NKRI. Diplomasi di era pemerintahan
Abdurrahman Wahid dalam konteks kepentingan nasional selain mencari
dukungan pemulihan ekonomi, rangkaian kunjungan ke mancanegara diarahkan pula pada upaya-upaya menarik
dukungan mengatasi konflik domestik, mempertahankan integritas teritorial Indonesia, dan hal yang
tak kalah penting adalah demokratisasi melalui proses peran militer agar
kembali ke peran profesional.
Pada masa presiden Megawati lebih
memerhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan
luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan dalam UUD 1945. Presiden Megawati juga lebih
memprioritaskan diri untuk mengunjungi wilayah-wilayah konflik di Tanah Air
seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat.
Pada masa pemerintahan SBY berhasil
mengubah citra Indonesia dan menarik investasi asing dengan menjalin berbagai
kerjasama dengan banyak negara antara lain dengan Jepang. Politik luar
negeri Indonesia di masa
pemerintahan SBY diumpamakan dengan istilah ‘mengarungi lautan bergelombang’,
bahkan ‘menjembatani dua karang’. Hal tersebut dapat dilihat dengan
berbagai insiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah.
C.
PERAN INDONESIA DALAM UPAYA MENCIPTAKAN PERDAMAIAN
DUNIA
1. PELAKSANAAN KONFERENSI ASIA AFRIKA
(KAA) 1955
Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri
Ceylon (Srilangka) Sir Jhon Kotelawala mengundang para Perdana
Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan
Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan Konferensi
Kolombo tanggal 28 April
sampai dengan 2 Mei 1954. Konferensi Kolombo telah menugaskan Indonesia agar
menjajaki kemungkinan untuk diadakannya Konferensi Asia Afrika. Atas undangan Perdana Menteri
Indonesia, para Perdana Menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma/Myanmar, Srilangka, India, Indonesia,
dan Pakistan) mengadakan Konferensi di Bogor pada tanggal 28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal
dengan sebutan Konferensi Panca Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan
pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.
Pada tanggal 15
Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada Kepala
Pemerintahan 25 (dua puluh lima) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara
yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi
Afrika Tengah (Central African Federation), karena memang negara itu
masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya. Pada tanggal 18 April 1955
Konferensi Asia Afrika dilangsungkan di Gedung Merdeka Bandung.
Konferensi dimulai pada jam 09.00 WIB dengan pidato pembukaan oleh Presiden Republik Indonesia Ir.
Soekarno. Sidang-sidang selanjutnya dipimpin oleh Ketua Konferensi Perdana
Menteri RI Ali Sastroamidjojo.
Dasasila Bandung :
- Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan, serta asas-asas kemanusiaan yang termuat dalam piagam PBB.
- Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
- Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa besar maupun kecil.
- Tidak melakukan campur tangan dalam soal-soal dalam negara lain.
- Menghormati hak-hak tiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan piagam PBB.
- Tidak melakukan tekanan terhadap negara-negara lain.
- Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan negara lain.
- Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai seperti perundingan, persetujuan, dan lain-lain yang sesuai dengan piagam PBB.
- Memajukan kerjasama untuk kepentingan bersama.
- Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
2. Gerakan Non-Blok/Non Align Movement
(NAM)
Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non
Align Movement (NAM) adalah suatu gerakan yang dipelopori oleh
negara-negara dunia ketiga yang beranggotakan lebih dari 100 negara-negara yang
berusaha menjalankan kebijakan luar negeri yang tidak memihak dan tidak
menganggap dirinya beraliansi dengan Blok Barat atau Blok Timur.
Tujuan GNB mencakup dua hal, yaitu
tujuan ke dalam dan ke luar. Tujuan kedalam yaitu mengusahakan kemajuan dan
pengembangan ekonomi, sosial, dan politik yang jauh tertinggal dari negara
maju.
Tujuan ke luar, yaitu berusaha
meredakan ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur menuju perdamaian dan
keamanan dunia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, negera-negara Non Blok
menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT).
3.
Misi Pemeliharaan Perdamaian Garuda
Pengiriman Misi Garuda yang pertama
kali dilakukan pada bulan Januari 1957. Pengiriman Misi Garuda dilatarbelakangi
adanya konflik di Timur Tengah terkait masalah nasionalisasi Terusan Suez yang
dilakukan oleh Presiden Mesir Ghamal Abdul Nasser pada 26 Juli
1956.
Untuk kedua kalinya Indonesia
mengirimkan kontingen untuk diperbantukan kepada United
Nations Operations for the Congo (UNOC) sebanyak satu batalyon. Pengiriman pasukan ini
terkait munculnya konflik di Kongo (Zaire sekarang). Konflik ini muncul
berhubungan dengan kemerdekaan Zaire pada bulan Juni 1960 dari Belgia
yang justru memicu pecahnya perang saudara.
4.
Pembentukan ASEAN
Pada tanggal 5-8 Agustus di Bangkok
dilangsungkan pertemuan antarmenteri luar negeri dari lima negara, yakni Adam
Malik (Indonesia), Tun Abdul Razak (Malaysia), S Rajaratman (Singapura),
Narciso Ramos (Filipina) dan tuan rumah Thanat Khoman (Thailand). Pada 8
Agustus 1967 para menteri luar negeri tersebut menandatangani suatu deklarasi
yang dikenal sebagai Bangkok Declaration.
Deklarasi
tersebut merupakan persetujuan kesatuan tekad kelima negara tersebut
untuk membentuk suatu organisasi kerja sama regional yang disebut Association
of South East Asian Nations (ASEAN).
Menurut Deklarasi Bangkok, Tujuan
ASEAN adalah:
- Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan perkembangan kebudayaan di Asia Tenggara.
- Memajukan stabilisasi dan perdamaian regional Asia Tenggara.
- Memajukan kerjasama aktif dan saling membantu di negara-negara anggota dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi.
- Menyediakan bantuan satu sama lain dalam bentuk fasilitas-fasilitas latihan dan penelitian.
- Kerjasama yang lebih besar dalam bidang pertanian, industri, perdagangan, pengangkutan, komunikasi serta usaha peningkatan standar kehidupan rakyatnya.
- Memajukan studi-studi masalah Asia Tenggara.
- Memelihara dan meningkatkan kerjasama yang bermanfaat dengan organisasi-organisasi regional dan internasional yang ada.