Gerakan 30 September (G 30 S/PKI) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat semalam pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, dimana tujuh perwira tinggi militer angkatan darat dibunuh dan disiksa secara keji oleh PKI. Tujuh Perwira TNI AD diculik dan dibunuh kemudian dibawa ke Desa Lubang Buaya Jakarta. Tiga diantaranya dibunuh di kediamannya, yaitu Letjen Ahmad Yani, Mayjen M.T. Harjono, dan Brigjen D.I. Pandjaitan. Sedangkan empat orang lainnya diculik dari rumahnya dan dibawa dalam keadaan masih hidup. Keempatnya kemudian disiksa secara kejam di dalam sebuah rumah. Mereka itu adalah Mayjen R. Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo S., dan Lettu P.A. Tendean.
Ketujuh jendral tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Jenderal TNI Ahmad Yani (Purworejo,
19 Juni 1922)
Pasukan penculik bertemu dengan
Edi, putra Letjen Ahmad Yani yang berumur 7 tahun dan menyuruhnya
memberitahukan bahwa ada utusan penting di istana presiden. Ahmad Yani
menyanggupi dan akan mandi terlebih dahulu. Tetapi salah seorang penculik
mengatakan tidak perlu mandi sehingga menimbulkan kemarahan. Akhirnya Ahmad
Yani ditembak dengan senapan hingga tewas di tempat.
2. Jenderal A.H Nasoetion (Berhasil
Selamat)
Terbukanya pintu ruang tamu dan
suara gaduh menyebabkan istri Jenderal A.H. Nasoetion membuka pintu kamar dan
melihat sekelompok penculik siap menembak. Anak jenderal A.H. Nasoetion, Ade
Irma Suryani terkena tembakan. Istrinya memberi isyarat agar menyelamatkan
diri. Jenderal A.H. Nasoetion kemudian melompat tembok dan berhasil
menyelamatkan diri walaupun sempat terkena tembakan di bagian kaki.
3. Kapten TNI Piere Tendean (Jakarta,
21 Februari 1939)
Sebagai ajudan Jenderal A.H
Nasoetion, Tendean memeriksa keadaan rumah Jenderal A.H Nasoetion. Tendean
langsung disergap dan dilucuti senjatanya kemudian digiring dan ditodong dengan
senapan untuk dibawa ke Desa Lubang Buaya.
4. Letjen M.T Harjono (Surabaya, 20
Januari 1924)
M.T Harjono diperintahkan untuk
menghadap presiden, tetapi M.T Harjono menolak dan menyuruh mereka agar kembali
lagi pukul 08.00 melalui istrinya. Para penculik pun menolak juga, kemudian
masuk dengan senjata siap tembak.
5. Mayjen TNI Sutoyo
Siswomiharjo (Kebumen, 23 Agustus 1922)
Ketika Brigjen Sutoyo membukakan
pintu, sekelompok penculik bersenjata menyampaikan perintah untuk menghadap
presiden. Selain itu, penculik juga merusak semua pajangan di rumah Jenderal
Sutoyo dan memutus telepon. Jenderal Sutoyo sempat meminta untuk berganti
pakaian, tetapi penculik menolak dan langsung menculik Jenderal Sutoyo.
6. Letjen S. Parman (Wonosobo, 4
Agustus 1918)
Mayjen S. Parman diperintahkan
menghadap presiden, lalu beliau menyanggupi dan berganti pakaian dinas. Karena
curiga, istri Mayjen S. Parman menanyakan surat perintah mereka. Lalu Mayjen S.
Parman berpesan kepada istrinya agar melapor ke Ahmad Yani. Namun para penculik
berhasil memaksa Mayjen S. Parman untuk dibawa ke Desa Lubang Buaya.
7. Letjen TNI Soeprapto (Purwokerto,
20 Juni 1920)
Ketika membuka pintu Soeprapto
heran melihat banyak anggota PKI. Soeprapto diminta untuk menghadap presiden,
kemudian beliau meminta izin untuk berganti pakaian. Namun penculik menolak dan
langsung menculik Letjen TNI Soeprapto.
8. Mayjen TNI D.I Pandjaitan
(Tapanuli, 9 Juni 1925)
Pasukan penculik memaksa masuk ke dalam rumah D.I Pandjaitan dengan tembakan. Dengan todongan senjata, D.I Pandjaitan berjalan ke luar rumah dengan mengenakan seragam lengkap. Namun, pada saat sedang berdo’a, tiba-tiba D.I Pandjaitan ditembak dan tewas.